Menyesatkan, Foto dengan Klaim Terawan akan Bertugas di Jerman

Menyesatkan, Foto dengan Klaim Terawan akan Bertugas di Jerman

Hasil pemeriksaan fakta Tempo menunjukkan, foto tersebut adalah saat Terawan Agus Putranto memenuhi undangan Rumah Sakit Krankenhaus Nordwest Jerman pada 2018. 
Dengan menggunakan reverse image tool milik Google, foto tersebut pernah dipublikasikan oleh sejumlah media. Tribunnews Jakarta misalnya, menulis, Terawan yang saat itu menjadi Kepala RS Gatot Subroto memenuhi undangan Rumah Sakit Krankenhaus Nordwest Jerman pada April 2018 untuk mengenalkan metode cuci otak digital subtraction angiography (DSA). 
Informasi tersebut juga dimuat di laman Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) pada 14 Mei 2018. Dalam laman tersebut, disebutkan bahwa Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat (RSPAD) tengah menjajaki kerja sama dengan Nordwest Krankenhaus, rumah sakit ternama dan tertua di Frankfurt, Jerman. Kolaborasi bermula dari kunjungan Kepala RSPAD, Mayjen Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad ke Nordwest Krankenhaus, awal April 2018.
Selanjutnya, pada Rabu (9/5)  Prof Dr Thomas Kraus Weiner, perwakilan Nordwest Krankenhaus, datang ke RSPAD untuk menindaklanjuti letter of intent atau kerja sama.
Namun Tempo tidak menemukan informasi lanjutan kerja sama tersebut di situs Rumah Sakit Nordwest Krankenhaus, maupun di akun twitter rumah sakit tersebut. 
Tentang cuci otak metode digital subtraction angiography (DSA)
Cuci otak metode DSA tersebut selama ini menjadi kontroversi di kalangan dokter. Dikutip dari Tempo, metode tersebut dituangkan dalam disertasi berjudul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing terhadap Cerebral Flood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien Iskemik” yang diuji pada 8 Mei 2016 di Universitas Hasanuddin, Makassar itu mendapat predikat “sangat memuaskan”. Ada empat kesimpulan dan empat saran di akhir disertasi itu.
Kesimpulan pertama menyatakan tindakan intra-arterial heparin flushing atau metode ‘cuci otak’ berpengaruh untuk meningkatkan cerebral blood flow atau aliran darah ke otak. Kesimpulan itu terhubung dengan saran nomor empat, yaitu metode ‘cuci otak’ dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan sekunder (deteksi dini) atau tersier (pengobatan) pada pasien stroke iskemik–kondisi saat pasokan darah ke otak terganggu akibat penyumbatan–kronis.
Meski baru diujikan pada 2016, Terawan mengatakan metode itu mulai digunakannya pada 2005. Lima tahun sebelum diuji (2011), metode Terawan menimbulkan perdebatan di kalangan dokter.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Mohammad Hasan Machfoed mempersoalkan kesimpulan disertasi Terawan. Sebab belum ada panduan universal yang berbasis bukti medis dalam penanganan stroke. Pendapat Hasan dikuatkan Teguh, yang menjadi penguji disertasi Terawan. Menurut dia, metode ‘cuci otak’ tidak bisa dijadikan rujukan untuk pengobatan, tapi hanya untuk deteksi dini.
Terawan berkukuh bahwa metode yang ditemukannya bisa dipakai sebagai terapi. “Kalau ilmunya hanya sampai diagnosis, ya, pandangan dia hanya diagnosis.”
Saat itu, Tempo dan Tirto.id membaca ulang disertasi Terawan dan membandingkan substansinya dengan rujukan ilmiah dalam daftar pustaka. Hasilnya, sebagian kesimpulan Terawan diduga tidak memiliki dasar kuat. Menurut Hasan Machfoed, “Tidak ada satu pun (literatur) dalam disertasi tersebut yang menyokong bukti heparin bermanfaat untuk stroke,” katanya pada Selasa, 26 November 2019.
Yang juga dipersoalkan kalangan dokter adalah metode penelitian Terawan. Dia menyimpulkan ‘cuci otak’ terbukti memberikan perbaikan untuk penderita stroke iskemik berdasarkan penelitian pendahuluan pada 2011-2014 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.
Persoalannya, kata sejumlah dokter yang ditemui Tempo, penelitian selama periode itu dilakukan tanpa information consent (lembar persetujuan) dari obyek yang diteliti. Terawan menampik tudingan ini. Ia mengaku telah menjelaskan segala macam prosedur kepada pasiennya. Terawan juga menyatakan telah memperoleh persetujuan etis (ethical clearance) dan bioetik dari kampusnya sebelum menggelar riset.
“Kalau orang lain memandang itu berbeda, mosok aku ngeyel. Ya, sudah, telan saja pendapatmu,” kata Menteri Kesehatan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *