Hasil verifikasi Tempo menunjukkan, Instruksi Presiden Nomor 02 tahun 2023 tersebut tentang pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Inpres itu salah satu upaya negara untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya dan korban terdampak dari peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Tempo tidak menemukan redaksional kalimat gaya komunis dalam inpres tersebut.
Inpres ini menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang disampaikan ke Pemerintah pada 29 Desember 2022.
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 ini, Presiden memerintahkan kepada 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa Inpres Nomor 02 tahun 2023 sebenarnya merupakan implementasi dari rekomendasi tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) dan tidak berhubungan isu komunis. “Inpres ini adalah upaya negara mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Usman yang dihubungi Tempo, Jumat, 24 November 2023.
Sementara tim PPHAM sendiri diketahui dibentuk oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2022 dan bekerja selama tiga bulan sejak September 2022. Tim ini mempunyai tugas melakukan pengungkapan dan analisis pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sampai dengan tahun 2O2O.
Tim ini juga diminta mengusulkan rekomendasi langkah pemulihan bagi para korban atau keluarganya, sekaligus mengusulkan rekomendasi untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Dikutip dari arsip berita Tempo, salah satu poin rekomendasi yang tertuang dalam laporan Tim PPHAM adalah mendorong negara mengakui adanya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan Presiden Joko Widodo diminta untuk meminta maaf atas nama negara terhadap kejahatan kemanusiaan.
Tercatat ada 14 kasus pelanggaran HAM berat temuan Komnas HAM yaitu pembantaian setelah G30S (1965-1966), peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara (1984), peristiwa Talangsari, Lampung (1989), peristiwa Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh (1989-1999), penculikan aktivis (1997-1998); kerusuhan Mei (1998), serta peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II (1997-1998).
Selanjutnya, pembantaian dukun santet di Jawa Timur (1998-1999), insiden Simpang KKA, Aceh (1999), pembunuhan pasca-jajak pendapat Timor Timur (1999), kasus Abepura, Papua (2000), kasus Wasior-Wamena, Papua (2001-2003), kasus Jambo Keupok, Aceh (2003), dan kasus Paniai, Papua (2014).
Dilansir CNN Indonesia, 11 rekomendasi tim PPHAM yang disampaikan pada Pemerintah melalui Menteri Koordinator Polhukam, yaitu:
1. Menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
2. Melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa.
3. Memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat lainnya yang tidak masuk dalam cakupan mandat Tim PPHAM.
4. Melakukan pendataan kembali korban.
5. Memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban; dan hak-hak sebagai warga negara.
6. Memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya. Perlu dilakukan pembangunan upaya-upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural.
7. Melakukan resosialisasi korban dengan masyarakat secara lebih luas.
8. Membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidak berulangan peristiwa pelanggaran HAM yang berat melalui
a. Kampanye kesadaran publik
b. Pendampingan masyarakat dengan terus mendorong upaya untuk sadar HAM, sekaligus untuk memperlihatkan kehadiran negara dalam upaya pendampingan korban HAM
c. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama untuk mengarusutamakan prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari.
d. Membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri.
9. Membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.
10. Melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM. Upaya ini meliputi ratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru.
11. Membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM.
Dari 11 rekomendasi ini baru satu yang telah dijalankan oleh Jokowi, yakni pengakuan dan penyesalan terkait pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Hasil pemeriksaaan fakta Tempo, video berdurasi 6 menit 41 detik yang mengatakan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 bentuk komunis baru di Indonesia adalahkeliru.
Inpres ini merupakan pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang disampaikan ke Pemerintah pada 29 Desember 2022.