tirto.id – Wabah virus Mpox yang sempat kembali merebak pada Agustus 2024 lalu. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) telah menetapkan keadaan darurat terkait wabah Mpox pada pekan kedua Agustus 2024.
WHO mengambil langkah tersebut setelah terjadi peningkatan kasus dan kematian akibat Mpox di negara-negara Afrika. Peningkatan dan kematian itu disebabkan oleh virus Mpox klad 1b. WHO melaporkan peningkatan kasus akibat klad 1b terjadi di Kongo dan negara Afrika lainnya. Hingga awal Agustus 2024, kasus Mpox sudah tercatat lebih dari 15.600 kasus dan 537 kasus kematian.
Di media sosial, banyak beredar narasi dan teori soal penyebaran virus Mpox. Banyak yang mengaitkan keberadaan virus ini dengan vaksinasi Covid-19. Salah satu yang Tirto temukan adalah unggahan dari akun “Tahir Ali” (arsip). Dia menyebut kalau berdasar ahli virologi, Mpox adalah efek samping dari vaksin Covid-19.
Unggahan tersebut juga mengutip Dr. Wolfgang Wodarg yang mengatakan kalau Mpox adalah penipuan, wabah yang ada adalah akibat dari hancurnya sistem kekebalan tubuh akibat vaksin Covid-19.
“Kasus-kasus cacar monyet saat ini dilaporkan di negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi di seluruh dunia, sementara negara-negara dengan tingkat vaksinasi yang lebih rendah tidak melaporkan adanya kasus apapun,” begitu pesan penutup dari akun tersebut.
Unggahan tersebut memang tidak viral, namun berpotensi menyebabkan kegaduhan terkait kesehatan publik. Lebih jauh, Tirto juga menemukan narasi serupa dari unggahan akun “Syifaiz CRAFT” (arsip) dan “Dwi Chan” (arsip) juga di Facebook pada September 2024. Ada juga unggahan dari akun “Vessel” (arsip) dan “Spike Detox” (arsip) yang juga mengutip pernyataan Wolfgang Wodarg yang menyebut Mpox sebagai efek samping dari vaksin Covid-19.
Keberadaan unggahan-unggahan tersebut menunjukkan kalau narasi tersebut masih terus ada dan berkembang sampai dengan November 2024.
Lalu, bagaimana faktanya? Apakah benar ada kaitan antara vaksin Covid-19 dan wabah Mpox? Benarkah Mpox tersebar di negara-negara dengan tingkat vaksinasi Covid-19 tinggi?