Menaikkan Harga Rokok Merupakan Kebijakan yang Pancasilais

Pemerintah Indonesia mulai tahun 2022 menaikkan tarif baru cukai rokok, harga rokok dan produk olahan tembakau, seperti rokok elektrik. Kebijakan menaikkan harga rokok adalah merupakan sikap tepat dan bijaksana dari Pemerintah dan diikuti kerelaan yang patut diapresiasi dari para pengusaha industri rokok. Kebijakan menaikkan harga rokok, apapun bentuknya, sudah lama dinanti masyarakat.

Penulis menyebutnya Kebijakan Pancasilais. 

Pasti banyak yang berkernyit, “Kok bawa-bawa Pancasila sih urusan rokok?”. Kebijakan ini jelas sejalan dengan harapan bersama ke depan untuk kebangkitan Indonesia. Melalui generasi kini menjadi menjadi generasi emas pada tahun 2045 atau 23 tahun mendatang, mereka generasi yang harus dijaga kualitasnya.

Kepada mereka yang kini berusia 10-25 tahun (dikenal sebagai Generasi Z atau Zillenials) yang akan mencapai era Indonesia Emas 2045, pengawal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang harus dijaga. Di tangan mereka harapan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasar falsafah Pancasila. Masyarakat adil dan makmur antara lain implementasinya terlihat pada keberadaan Generasi Emas, yang dilahirkan dari pendekatan Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya.

Kementerian Keuangan dalam publikasinya menyebutkan pemerintah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau mulai 1 Januari 2022 dengan kenaikan rata-rata 12%. Untuk kretek kenaikan 4-5-5%.  Kebijakan ini merupakan salah satu instrumen peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi agenda krusial dalam upaya peningkatan produktivitas nasional. Kebijakan ini sudah disetujui Presiden Jokowi, kata Menkeu Sri Mulyani secara daring pada tanggal 13 Desember 2021.

Rokok dan Pancasila

Apakah perokok itu seorang yang pancasilais? Pertanyaan genit ini terpaksa harus disuarakan karena situasinya mengharuskan. Tidak ada yang salah dengan rokok tetapi Pancasila harus menjadi wujud implementasi tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Rokok baru menjadi masalah ketika sang perokok menunjukkan perilaku yang tidak Pancasilais.

Bayangkan jika kita melihat ada orang yang merokok di sekitar anak-anak dan ibu, atau merokok di dalam angkot yang isinya juga orang tua dan anak-ana, atau di tempat umum, seperti restoran, café dan kedai ada yang merokok. Padahal di kotak rokok jelas terlihat ada tulisan “Rokok Membunuhmu”.

Mungkin perokok sedikit lebih aman karena mereka merokok dari bagian yang ada filternya, sementara orang di sekitarnya mendapat asap rokok yang langsung terhirup hidung dan masuk ke paru-paru dan jaringan tubuh lainnya tanpa filter dan langsung merusak.

Menteri Kesehatan 2014-2019. Prof. Nila F. Moeloek, salah satu Menteri paling keras sikapnya terhadap pengendalian rokok. Sikap itu merupakan konsekuensi yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 113 yang mengamanatkan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif termasuk konsumsi tembakau diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan.

Prof. Nila mengutip hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang menunjukkan semakin meresahkan dengan terjadinya peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1 % di tahun 2018. Peningkatan konsumsi perokok anak tidak terlepas dari Iklan promosi yang sangat menarik bagi anak-anak dan remaja, disamping harga rokok yang murah, bisa dibeli batangan dan aturan atau larangan yang tidak pernah konsisten dijalankan. Anak-anak sangat mudah tertarik kepada promosi tersebut. Begitu mencoba rokok, beberapa waktu kemudian menjadi adiksi (ketergantungan) yang boleh jadi tidak dapat dihentikan berpuluh tahun, sampai pada waktunya divonis dokter atau berakhir hidupnya.

Aris Merdeka Sirait (Ketua Komnas Perlindungan Anak) pada suatu kegiatan advokasi di Denpasar, Bali mengatakan bahwa dunia internasional memberi julukan tidak enak untuk Indonesia sebagai “Negara Baby Smokers”. Anak-anak menjadi perokok aktif karena mereka tinggal dalam lingkungan dan keluarga perokok. Jumlah mereka tidak kecil, ada 69% remaja Indonesia menjadi perokok aktif dan 89 juta anak lainnya terpapar asap rokok dan terancam kesehatannya.

Pengalaman penulis tahun 2009 dalam perjalanan dinas ke Nairobi, Kenya (negeri asal Barack Obama, Mantan Presiden Amerika Serikat). Selama beberapa hari sengaja berkeliling kota, tidak menemukan orang di tempat umum merokok. Mereka punya prinsip menjaga bersama udara bersih sebagai milik bersama. Dimana para perokok? Mereka ada di tempat yang sudah ditentukan pemerintah atau mojok jauh dari keramaian.

Belanja Rokok dan Tingginya Kasus Kanker Paru

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran BPS tahun 2018 yang dianalisis oleh Dr. Umi Fahmida dari Program Division Southeast Asian Minister of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO RECFON) dalam acara Media Briefing Pendidikan Gizi dan Generasi Emas Indonesia 2045, mengatakan “Belanja rokok melebihi belanja pangan bergizi untuk keluarga”.

Tercatat bahwa total pengeluaran bulanan penduduk termiskin di pedesaan, 15,05% untuk membeli rokok, 9,07% untuk membeli sayur-sayuran, 8,17% untuk membeli ikan dan 4,68% untuk membeli susu dan telur. Tren yang sama juga terjadi di perkotaan 9,30% pengeluaran keluarga untuk membeli rokok, 7,32% untuk membeli sayuran, 7,32% untuk membeli ikan dan 6,17% untuk susu serta telur serta ikan yang merupakan nutrisi untuk kecerdasan.

Rumah Sakit Indonesia mencatat bahwa lebih 60% tindakan operasi Kanker, berlatar belakang yang berhubungan akibat rokok.

 

Dari sisi kesehatan, rokok memicu prevalensi hipertensi, stroke, impotensi dan penyakit jantung. Bagi ibu hamil hal tersebut dapat mengancam keguguran. Di dalam asap rokok terdapat sekitar 5.000 senyawa berbeda yang sebahagian bersifat racun yang berpotensi merusak sel tubuh. Di dalam rokok ada 250 jenis zat beracun, dimana 70 jenis bersifat karsinogenik (pemicu kanker).

Rumah sakit di Indonesia mencatat bahwa lebih 60% tindakan operasi kanker, berlatar belakang yang berhubungan dengan akibat dari rokok.

Perlu diwaspadai bahwa dari Data Riskesdas Kemenkes tahun 2018, menunjukkan tren keterpaparan Penyakit Tidak Menular (PTM) yang semakin usia muda dan bahkan mengenai semua usia.

Hal lain meningkatnya risiko stunting pada anak dan bisa pula memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19. Perokok 14 kali berisiko terkena Covid-19 dibandingkan bukan perokok.

Ditinjau dari aspek pembiayaan kesehatan, keadaan ini menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan dalam jangka panjang, termasuk meningkatkan terus biaya kesehatan, seperti yang terjadi dengan pandemi Covid-19, dimana ratusan triliun anggaran terkuras dengan mengorbankan banyak Program Strategis Nasional sejak 2019 sampai beberapa tahun kedepan untuk penanganan dan pemulihan akibat dan dampak pandemi Covid-19 yang multi aspek.

Banyak kebutuhan primer bagi anak, seperti Pendidikan, Kesehatan, Gizi, Perilaku, Norma, termasuk Keteladanan. Membuat keputusan merokok atau tidak merokok adalah pilihan yang sudah jelas jawabannya.

 

Pemahaman Pancasila Membimbing Jalan Kesejahteraan

Merokok atau tidak merokok adalah keputusan penting perjalanan hidup seseorang. Dalam setiap pengambilan keputusan tentu ada pertimbangan untung dan rugi, perlu atau tidak, sehat atau pilih sakit.

Keputusan berdampak kepada diri dan keluarga. Dalam keluarga ada istri dan anak-anak. Anak sedang dalam masa pertumbuhan. Dalam pertumbuhan banyak kebutuhan. Banyak kebutuhan yang primer sifatnya pada anak, seperti pendidikan, kesehatan, gizi, perilaku,  norma, keteladanan, semua butuh perhatian sang orangtua (satu-satunya sumber perubahan bagi anak dan keluarga) yang boleh jadi perokok.

Dapat dibayangkan ketika anak-anak sedang tumbuh, belajar untuk menggapai cita-citanya, yang tentu antara lain ingin membahagiakan orang tuanya, menjadi mandek karena sang ayah harus berjuang melawan penyakit akibat rokok yang membutuhkan perawatan yang canggih dan mahal, dan bisa berujung susah hingga kematian.

Jadilah Pancasilais

Jadilah Pancasilais, agar menjadi insan ibadah yang bertanggungjawab terhadap diri, keluarga, dan bangsa, serta dapat berkontribusi untuk Indonesia Emas. Jika jadi perokok, jadilah perokok yang cerdas yang tahu akibat. Merokok adalah pilihan mahal, butuh keputusan rasional dan tanggung jawab.

Pemerintah dan pengusaha, lewat kenaikan harga cukai dan rokok, mengingatkan kita bersama bukan hanya ekonomi yang dipacu tetapi juga dan terutama adalah kualitas sumber daya manusia Indonesia.Hanya kepada SDM berkualitas, harapan implementasi nilai-nilai Pancasila dapat ditegakkan dan diwujudkan menjadi Indonesia Emas pada Seratus Tahun Kemerdekaan RI, Tahun 2045.

 

Kontributor: *Dr. Abidinsyah Siregar, DHSM, MBA, M.Kes 

*Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Deputi BKKBN 2014-2017/ Komisioner KPHI 2013-2019/ Sekretaris KKI 2006-2008/ Kepala Pusat Promkes Depkes RI 2008-2010/ Ses.Itjen Depkes 2010-2011/ Direktur Bina Yankes Tradkom Kemenkes 2011-2013/ Alumnus Public Health Management Disaster, WHO Searo, Thailand/ Mantan Ketua MN Kahmi/ Mantan Ketua PB IDI/ Sekjen PP IPHI/ Ketua PP ICMI/ Ketua PP DMI/ Waketum DPP JBMI/ Ketua PP ASKLIN/ Penasehat BRINUS/ Penasehat Klub Gowes KOSEINDO/ Ketua IKAL FK USU/ Penasehat PP KMA-PBS/ Penasehat PP PDHMI/ WaKorbid.Orbida dan Taplai DPP IKAL-Lemhannas/ Pengasuh media sosial GOLansia.com dan Kanal-kesehatan.com

Editor: Eunice Margarini, SKM, MIPH

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *