3 April 2023 – Hari ini, Jawa Barat akan melaksanakan pemberian tetes polio tambahan untuk semua anak dibawah 5 tahun. Hal ini dilakukan karena ditemukannya kasus anak lumpuh terkonfirmasi akibat virus polio di Purwakarta.
Saya teringat kesempatan bantu penanganan wabah polio di Aceh akhir tahun 2022 kemarin bersama teman-teman puskesmas, dinkes, kemenkes, unicef, who dan lain-lain. Berikut saya coba uraikan beberapa faktor penting dari keberhasilan komunikasi dalam Sub-Pekan Imunisasi Nasional Polio Aceh saat itu dari sudut pandang saya:
1. Gunakan kata ganti bila kata imunisasi diragukan
Salah satu hal menarik yang saya pelajari kemarin di Aceh adalah pengemasan kata “imunisasi” / “vaksinasi” dengan “tetes manis polio”. Beda kata tersebut punya peran signifikan pada penerimaan masyarakat. Apalagi kita butuh cakupan besar dalam waktu cepat, misalnya seperti wabah saat ini.
2. Hindari bahasa teknis dan mengenalkan konsep bagi warga
Hindari menggunakan bahasa-bahasa teknis seperti VDPV2, NoPV2, AFP, dll. Saat menjelaskan pada masyarakat, fokus pada hal yang penting masyarakat tahu terkait polio. Jangan berangkat dari konsep yang runut seperti “definisi apa itu poliomielitis?”
3. Rumusan Pesan: Rasa Takut + Solusi Mudah
Salah satu model komunikasi yang dapat digunakan adalah Extended Paralel Process Model (EPPM), yaitu dengan komponen rasa takut dan solusi yang mudah. Pesan takut jangan dikurang-kurangi karena kalau tidak takut, orang tidak akan peduli akan wabah polio. Solusi jangan dibuat sulit, sehingga orang tidak enggan untuk ambil tetes polio. Solusi paling mudah dan cepat apa yang bisa dilakukan masyarakat di masa wabah ini? Mendapatkan tetes polio-nya? Atau PHBS? Atau tidak BAB sembarangan? Terlalu banyak pesan juga tidak baik.
4. Keteladanan tenaga kesehatan
Keteladanan tenaga kesehatan penting bagi kesuksesan pemberian tetes manis polio ini. Jangan sampai warga tidak percaya dengan tetes polio yang akan diberikan karena anak-anak dari tenaga kesehatannya juga tidak diberikan diberikan tetes polio tersebut.
5. Untuk isu halal-haram, libatkan penyuluh agama
Isu halal-haram ini memang bukan kompetensi tenaga kesehatan. Jangan dipaksakan. Berkolaborasilah dengan para penyuluh agama. Berkolaborasi disini artinya beriringan. Dalam beberapa kesempatan di Aceh, para penyuluh agama ikut dalam kegiatan pemberian tetes polio di warga. Karena penyuluh agama pun tidak dapat menjawab semua kebingungan warga tentang polio, maka tenaga kesehatan harus berjalan beriringan dengan penyuluh agama untuk memberikan keyakinan pada masyarakat.
6. Berikan gambaran nyata bahaya polio dengan gambar asli, bukan animasi
Pada saat menyusun materi edukasi digital maupun fisik, hindari penggunaan animasi, karena hal tersebut dapat mengurangi unsur “fear” pada polio yang perlu kita tonjolkan dalam pesan komunikasi kita. Gunakan gambar atau video asli korban polio yang ada dengan tetap mengedepankan privasi korban.
Contoh poster sederhana:
https://drive.google.com/file/d/1BpCNtamRjWifhDUp8sVBASju0HiyqQgO/view?usp=drivesdk
Contoh video:
https://youtu.be/czsJYqOf5Ig
7. Gunakan perumpamaan dalam menjelaskan
Di Aceh kemarin, saya mendapat masukan dari teman-teman kader sebagai alat bantu perumpamaan penyakit polio. Jangan gunakan istilah medis seperti Lower Motor Neuron, inkubasi, eradikasi, dll.
Tentang bagaimana polio sebabkan lumpuh:
Saraf anak kita yang seperti kabel listrik dibuat korslet oleh virus polio, sehingga lumpuh. Kabelnya tidak bisa diganti. Cacat permanen.
Tentang penyebaran polio:
Polio menyebar di tanah dan air sungai di sekitar kita, tidak bisa kita hindari kontak dengan 2 hal tersebut sehari-hari. Namun kita bisa cegah dari dalam dengan memberikan perlindungan melalui tetes polio
8. Pesan dua tetes polio, tidak perlu terlalu detil?
Program Sub PIN Polio Aceh kemarin dilakukan melalui 2 putaran. Kesulitan komunikasi saya lihat ketika menyampaikan pesan komunikasi untuk putaran kedua. Saya dapat cerita dari teman-teman kader terkait sulitnya menyampaikan “Dua tetes manis polio yang kedua” bagi warga.
9. Fenomena Kejadian Ikut-Ikutan Pasca Imunisasi (follow the herd)
Beberapa warga mungkin masih ragu untuk mengizinkan anaknya diberikan tetes polio, hal itu biasa. Kita fokus dulu kepada wilayah dengan penerimaan tinggi. Karena kita juga butuh capaian cakupan yang tinggi dalam waktu cepat demi perlindungan anak dari wabah. Biasanya fenomena warga ikut-ikutan mengizinkan akan muncul karena yang lain sudah dapat tetes polio dan tidak ada masalah setelahnya.
10. Komunikasikan komitmen Tenaga Kesehatan terkait KIPI
Salah satu keraguan warga dalam pemberian tetes polio saat itu adalah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Walau kita tenaga kesehatan tahu bahwa KIPI tetes polio jarang muncul dan bila muncul pun ringan, kita tetap penting untuk mengkomunikasikan komitmen dan tanggung jawab kita dalam pemberian tetes polio ini.
- Sampaikan pada orang tua KIPI yang mungkin muncul setelah pemberian tetes polio
- Sampaikan apa yang harus dilakukan orang tua bila KIPI tersebut muncul
- Sampaikan kemana orang tua harus menghubungi nakes bila KIPI muncul
11. Lakukan dialog dengan media
Lakukan dialog dengan para media untuk memberikan konteks kedaruratan dan bahaya yang dapat terjadi bila anak terkena Polio. Sampaikan pula bahwa tetes polio ini penting diberikan. Terbukti aman. Sampaikan dampak yang dapat terjadi bila adanya berita-berita yang tidak berimbang terkait pelaksanaan tetes polio ini, terutama terkait KIPI.
12. Kompilasi aset-aset konten dalam satu link/ tautan (knowledge management)
Hal ini mempermudah masyarakat maupun media untuk mengakses informasi terkini terkait polio di Jawa Barat. Contoh yang dilakukan di Aceh dapat diakses pada https://polioaceh.id
13. Minta dukungan tokoh-tokoh strategis, dapat dibuatkan video dukungan singkat
Bikin video singkat ajakkan untuk ambil tetes polio dari tokoh-tokoh penting. Misalnya di Aceh, video dukungan dari tokoh ulama, pimpinan daerah, dokter anak, dan tokoh lainnya yang dapat mempermudah komunikasi nakes ke warga. Contoh video dapat dilihat pada https://polioaceh.id
14. Jangan hanya koordinasi teknis, latih para kader untuk komunikasi polio
Jangan hanya berfokus pada koordinasi untuk teknis pelaksanaan sub PIN. Adakan pelatihan-pelatihan komunikasi untuk polio, sesi-sesi dialog dengan warga, sehingga pelaksanaan di lapangan akan termudahkan.
15. Gunakan sumber daya untuk respons polio dari dari program stunting yang ada
Seringkali teman-teman khususnya yang di pemerintah agak sulit merespons wabah dari sisi penganggaran yang tidak terduga. Pada saat saya kemarin di Aceh Timur, teman-teman Dinkes dan Puskesmas memiliki inovasi yang menurut saya baik sekali. Sumber daya stunting itu kan lumayan banyak, dari sisi pendanaan hingga tenaga manusia-nya. Isu tetes polio ini mereka sisipkan dalam berbagai pertemuan, pelatihan, maupun program stunting lainnya yang ada.
16. Pertemuan dan koordinasi rutin, tidak hanya di level pejabat tinggi
Memang koordinasi adalah kata yang sangat klasik, tapi dibutuhkan. Dialog-dialog dengan berbagai pihak penting untuk menyelaraskan agenda pemberian tetes polio ini. Pertemuan di tingkat kabupaten/kota hingga ke tingkat kecamatan dan kelurahan/desa menjadi strategis. Jangan sampai karena tidak adanya komunikasi yang baik dengan warga, pemberian tetes polio ini menyebabkan adanya trauma di masyarakat bagi imunisasi lainnya secara umum. Niat baik saja tidak cukup, perlu dikomunikasikan dengan baik
Sekian beberapa masukkan dari saya. Semoga anak-anak di Jawa Barat terlindungi dari bahaya polio. Info kompilasi konten polio di Aceh kemarin dapat diakses pada tautan https://polioaceh.id . Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman saat mendapat penugasan dari UNICEF di Aceh dan dokumen strategi komunikasi yang disusun oleh Risang Rimbatmaja Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia.
Basra Amru
Jakarta, 2 April 2023