KOMPAS.com – Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Cheryl Tanzil menyebutkan, pemecatan Prabowo Subianto dari dinas kemiliteran tidak ada hubungannya dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Dalam acara “Pilpres Sebentar Lagi, Anak Muda Pilih Siapa?” di TvOne, pada 9 Februari 2024, juru bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ini mengutip pernyataan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib.
“Lalu saya juga ingin mengutip almarhum Munir. Di salah satu tayangan televisi, almarhum Munir pernah mengatakan bahwa betul Pak Prabowo ini dipecat tidak ada hubungannya dengan Mei 98. Ini konspirasi politik,” kata Cheryl.
Bagaimana faktanya?
Pernyataan Munir terkait pemecatan Prabowo disampaikan dalam talk show atau gelar wicara di SCTV pada 8 Oktober 1999. Selain Munir, hadir pula juru bicara Prabowo, yakni Fadli Zon.
Sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir dimintai pendapatnya mengenai tuntutan dari keluarga Djojohadikusumo.
Mereka menuntut pemerintah agar membersihkan nama mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD (Pangkostrad) Letnan Jenderal Prabowo Subianto.
Pemecatan Prabowo diumumkan oleh Menhankam/Panglima ABRI, Wiranto, pada Senin, 24 Agustus 1998, berdasarkan rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai KSAD Jenderal Subagyo Hadisiswoyo.
Tidak hanya Prabowo, Wiranto juga membebaskan dua perwira lain dari semua tugas dan jabatan struktural di ABRI.
Mereka adalah mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayjen TNI Muchdi Purwopranjono dan mantan Komandan Grup IV Kopasuss Kol (Inf) Chairawan.
Dikutip dari Artikel Harian Kompas, 29 Desember 1998, Mereka dituduh terkait erat dengan kasus penculikan aktivis mahasiswa.
Kemudian pada Kamis, 7 Oktober 1999, pengusaha sekaligus adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan, pemberhentian Prabowo merupakan tindakan yang keliru dan penuh ketidakadilan.
Ia mengatakan, hal itu menunjukkan bahwa Prabowo hanya korban fitnah, konspirasi politik, dan pembunuhan karakter. Atas dasar itu, pihak Prabowo menyusun gugatan.
Selain itu, pernyataan Hashim juga terkait surat Menteri Sekretaris Negara Muladi, pada 13 September 1999, yang ditujukan pada Ketua Komnas HAM mengenai tindak lanjut penanganan akibat kerusuhan Mei 1998.
Dilansir Harian Kompas, 8 Oktober 1999, isi surat yang menjadi perhatian Hashim yakni, “Tentang dugaan keterlibatan Letjen Prabowo Subianto dalam peristiwa kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998, yang dimulai dengan adanya pertemuan di Markas Kostrad, berdasarkan penyelidikan yang kami lakukan, ternyata tidak terdapat cukup bukti yang memperkuat dugaan itu.”
“Walaupun demikian, sebagai pejabat yang mempunyai tugas dan tanggung jawab akan keamanan dan keselamatan negara, maka dengan terjadinya peristiwa kerusuhan itu pemerintah telah memberhentikan Letjen Prabowo Subianto dari jabatannya sebagai Panglima Kostrad dan memensiunkannya sebagai anggota TNI AD.”
Terkait surat ini, Fadli Zon menilai tidak tepat jika Prabowo diberhentikan karena bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan negara.
“Karena yang bertanggung jawab itu adalah urutannya adalah Presiden kemudian Menhankam/Pangab dan seterusnya,” ujar Fadli.
Sementara itu, Munir menuturkan, tuduhan atas keterlibatan Prabowo seharusnya dibuktikan melalui pengadilan lebih dahulu.
Dengan demikian, pemecatan dapat dilakukan setelah Prabowo dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan.
Mengenai surat Muladi, Munir menilai hal itu sebagai dualisme pernyataan pemerintah. Sebab, peristiwa penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998 merupakan dua kasus yang berbeda.
“Tiba-tiba Pemerintah membuat keterangan seolah-olah pemecatan itu berkaitan dengan Mei. Itu kasus lain,” ucap Munir.
Untuk mengurai kerancuan saat itu, Munir mengusulkan pembuktian mengenai dugaan keterlibatan Prabowo diselesaikan di pengadilan.
Munir mengatakan, kasus-kasus pelanggaran HAM hanya menjadi komoditas politik apabila tidak dituntaskan melalui pengadilan.
“Itu yang sejak awal kita sampaikan bahwa pengadilan ini yang membutuhkan tidak saja keluarga orang hilang, tidak saja masyarakat, Prabowo sendiri juga butuh pengadilan untuk membuktikan bahwa dia salah atau tidak,” ucap Munir.
Lantas, bagaimana keterkaitan antara Prabowo dan peristiwa kerusuhan Mei 1998?
Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998, Pemerintah perlu melakukan penyelidikan ulang terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998.
Hal ini penting untuk mengetahui dan mengungkap, serta memastikan peran Prabowo dan pihak-pihak lainnya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.
TGPF menyatakan, kerusuhan 13-15 Mei 1998 terjadi karena proses pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter.
Dalam pergumulan elite politik, ada pemeran-pemeran kunci di lapangan saat kerusuhan. Terkait hal ini, menurut TGPF, pertemuan di Makostrad pada 14 Mei 1998 patut diduga dapat mengungkap peranan pelaku dan pola kerusuhan.