Menyesatkan, Klaim Muhaimin Iskandar bahwa Lebih Baik Utang untuk Beli Alat Pertanian daripada Beli Alat Perang

Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, menilai bahwa membangun sistem pertahanan seharusnya dilakukan sejak masa damai atau saat tidak ada perang.
“Jangan ketika perang baru membeli persenjataan, itu jadinya sangat terlambat. Kita membangun sistem pertahanan berdasarkan analisis terhadap potensi ancaman dalam lingkungan strategis negara kita,” kata Rahadian.
Menurut Rahadian, terdapat sejumlah potensi ancaman di kawasan yang membuat pembangunan pertahanan semakin mendesak seperti sengketa Laut Cina Selatan (LCS), ketegangan Cina-Taiwan dan Cina-Amerika Serikat (AS). 
Dengan posisi Indonesia sebagai  non-claimant di sengketa LCS, namun secarade facto, wilayah Indonesia berada di Natuna yang diklaim sebagai wilayah Cina. Sehingga, Indonesia perlu meningkatkan kekuatan persenjataan untuk mempertahankan Natuna, tidak cukup hanya melalui diplomasi. 
“Kalau hubungan Cina-Taiwan dan Cina-AS di kawasan semakin memanas hingga berpotensi terekskalasi jadi konflik. Skenario konflik yang akan terjadi, sangat mungkin membawa pengaruh ke wilayah Indonesia,” ujar Rahadian. 
Dalam diskursus studi keamanan, terdapat adagiumSi Vis Pacem Parabellumyang artinya jika menginginkan perdamaian harus siap dengan perang. Sehingga, pemutakhiran persenjataan adalah keniscayaan dan harus dipersiapkan, meskipun tidak di masa perang. 
Selain itu, utang luar negeri telah dimasukkan sebagai salah satu komponen pendapatan belanja negara di Indonesia. Praktik ini juga lumrah terjadi di banyak negara. 
“Ada dua frame sudut pandang untuk menanggapi pernyataan tersebut. Pertama, pernyataan Gus Imin terlalu politis mengingat lokasi dimana pernyataan itu keluar. Kedua, jika ide besar dari pernyataan itu digali, hutang alat pertanian jika dikelola dengan baik bisa saja kata ‘lebih baik’ ini benar, karena keuntungan dari pertanian bisa menambah devisa negara untuk pelunasan hutang,” kata dia. 
Tangguh Chairil, dosen Hubungan Internasional dari Binus University, menilai pernyataan Muhaimin tersebut menunjukkan adanyamindset yang disebutguns vs butter,sebuah  istilah terkait alokasi anggaran pemerintah. 
Guns artinya anggaran untuk militer atau pertahanan, sedangkanbutter merujuk pada anggaran untuk kesejahteraan sosial. 
“Orang-orang yang berpikir dengan cara ini menganggap anggaran untuk pertahanan ituzero-sum atau harus ada yang menang dan kalah dengan anggaran untuk kesejahteraan sosial. Sehingga, mereka menganggap agar anggaran kesejahteraan sosial bisa ditingkatkan, anggaran pertahanan harus diturunkan,” kata Tangguh Chairil.
Menurutnya, belum tentu anggaran pertahanan dan kesejahteraan sosial itu selaluzero-sumatautrade-off (harus ada keuntungannya). Hasil kajian ekonomi pertahanan terhadap berbagai studi kasus berbeda-beda. Ada kasus ketika anggaran pertahanan justru berdampak positif terhadap kesejahteraan sosial.
“Anggaran pertahanan belum tentuzero-sumatautrade-offdengan kesejahteraan sosial. Ketika hubungannya positif, istilahnya menjadi guns and butter, yaitu menggunakan anggaran pertahanan untuk merangsang dampak perekonomian. Pola pikirguns vs butterini yang sudah mulai diusahakan pemerintah Indonesia melalui istilah investasi pertahanan,” kata Teguh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *